Setelah Pemakaman

Satu pekan berlalu.

Sara Fiza
2 min readMar 9, 2023

Kamu terbebas dari rasa sakitmu, dipeluk oleh penciptamu. Aku yakin kamu dan seluruh kebaikanmu beristirahat dengan tenang.

Orang yang berdesak-desakan hadir di hari pemakamanmu — yang berduka, yang juga terluka — perlahan pulang satu per satu. Semakin hari semakin sepi. Mereka melanjutkan hidupnya lagi, karena mereka tentunya punya kehidupannya sendiri, punya masalahnya sendiri, punya prioritas sendiri, mereka memasang status media sosial tentang betapa bahagianya hidup mereka karena orang yang mereka sayang masih ada di sisi mereka, mereka berucap syukur karena mereka tidak berada di posisiku, mereka memuji-muji kekuatanku padahal aku tidak butuh jadi kuat ataupun dipuji kuat, aku hanya ingin kamu. Kalau bisa, aku ingin lemah saja, selama aku tidak kehilanganmu.

Dalam menghadapi kedukaan seperti ini, sedekat apapun aku dengan orang manapun, luka ini jadi jurang yang dalam, jarak yang jauh, yang tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh orang-orang yang tidak pernah kehilangan belahan jiwanya, sahabat seumur hidupnya, rumahnya, pemeluk resah gelisahnya, pengucap “aku mencintaimu" setiap harinya.

Satu pekan berlalu,

Aku masih merindukanmu.

Satu pekan berlalu,

Satu detik lalu aku bisa berkata, “Ikhlaslah wahai diri. Nanti pasti berjumpa lagi"

Lalu satu detik kemudian, “Aku tidak bisa. Aku tidak mau. Aku tidak mampu.”

Lalu satu detik kemudian, “Tenanglah. Setiap orang akan berhadapan dengan kematian cepat atau lambat. Saatnya jalani waktu yang tersisa sebaik mungkin.”

Lalu satu detik kemudian,

“Di antara semua ujian, kenapa ujian yang ini yang harus aku dapatkan? Kenapa? Kenapa aku? Kenapa anakku?”

Lalu satu detik kemudian,

“Ya Allah, betapa baiknya dirimu mengizinkan aku bertemu belahan jiwaku walau sebentar.”

Kapan badai naik turun ini berlalu?

Hancur aku dicabik-cabik.

--

--

Sara Fiza

The one who survives and tells the tale. Selain menulis, saya menyuarakan keramaian dalam kepala melalui podcast Urai di bit.ly/podcasturai