Walau Gemetar dan Limbung

Sara Fiza
2 min readJul 15, 2022

--

Jika menulis di sini adalah berdiri di atas sebuah panggung pertunjukan, kamu akan melihat betapa gemetarnya tanganku dan limbungnya kakiku. Beberapa waktu belakangan ini, menulis di sini adalah sebuah kecemasan tersendiri yang membuatku langsung turun panggung dan tidak jadi menampilkan apapun yang ingin kutampilkan.

Kecemasan yang ada di pikiranku menahanku untuk membagikan cerita apapun ke luar kepala. Padahal, isi kepala sudah memaksa ingin keluar. alhasil kepala semakin riuh, sedang jari-jari tak mau berkompromi untuk mengurai keriuhan itu.

Perasaan ketika diurai menjadi tulisan akan menjadi wujud nyata. Wujud nyata itu yang menggiring kecemasanku untuk membuat simpulan-simpulan liar akan penilaian orang lain: bagaimana jika tidak ada lagi yang punya rasa yang sama dengan yang aku rasa, bagaimana jika ketika tulisan ini mewujud hanya akan ada senyap dan sunyi yang membuatku semakin merasa sendiri. Kata “Bagaimana jika” sering sekali berputar di kepala dan itulah yang membuatku beku. Beku itu membuat otot menulisku kaku dan merangkai kata tiba-tiba menjadi hal yang menakutkan. Sejak kapan ini bermula?

Dengan tulisan ini, aku berdiri di panggung besar yang kutakutkan, memaksa diriku untuk terus menulis walau tangan gemetar dan kaki limbung tak karuan. Tulisan ini akhirnya mewujud dan tak lepas dari “Bagaimana jika”,
tapi aku mau
kembali
perlahan
menyapamu
kembali.

Dengan ini, di atas panggung ini, kuucapkan:
hai, sudah lama kita tidak bersua…

--

--

Sara Fiza

The one who survives and tells the tale. Selain menulis, saya menyuarakan keramaian dalam kepala melalui podcast Urai di bit.ly/podcasturai